Friday, August 4, 2017

Kapan Nikah, Pertanyan Klasik yang Memaksamu Untuk Sedih dan Marah di Waktu Bersamaan

Nikah sih mau-mau aja, tapi gimana sama segala macam kebutuhan yang ada di depan mata?


Sabtu lalu, ada sebuah perbincangan dengan sahabat yang berubah menjadi debat sehat. Entah berapa puluh menit waktu terlewat, hingga senja mengajak kami menutup topik yang kami bicarakan tanpa istirahat.

Sejenak ketika menoleh ke sisi barat, ada senja dengan bingkainya begitu menawan mengantarkan sang mentari untuk turun dari peraduan. Warnanya merah penuh kerinduan, saat-saat di mana kami mendapati ketenangan dan kedamaian dalam sepersekian jam saja di tengah kepenatan. Pertemuan singkat, namun terus saja menjadi candu untuk terus menikmati. (Menghela nafas)... dalam hati aku merasa ini momen yang sangat pas, menyampaikan perasaan saat itu, namun logika membatasi. Tak cukup kesempatan hingga ungkapan terucap.

Senja lepas dari pandangan, kembali menoleh wajah sahabat di sisi, dan terlintas kembali perdebatan tadi. Tentang topik kapan nikah? Sebuah lagu lama yang selalu menarik dikumandangkan. Sebuah tanya penuh ujian kesabaran kala menjawabnya. Ia (sahabat) berargumen sebagai kaum hawa, beropini bahwa perasaan wanita memang seharusnya diberi kepastian, bukan keraguan akan masa depan, bukankah Tuhan Maha Membuka Jalan?

Namun, opiniku berbeda, bisa saja berjuang walau belum ada kestabilan, walau belum ada kemapanan. Bisa saja mengajakmu berjuang bersama dari bawah, membangun bahtera dari nol dan mengembangkannya dengan segala risiko ditanggung bersama. Namun, tak tega rasanya. Terlebih logika bertanya bagaimana hidup kita nanti tercukupi? Hmm..., opini ini bukankah malah mengingkari janji Tuhan?
...Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. At-Talaq [65:3]
Lalu, sebuah tepukan halus dipundak menyapaku dari belakang, sahabat-sahabat lain yang sudah terlebih dahulu 'sold' memberikan sebuah pencerahan. Mereka dengan mantap setuju dengan opini kami berdua yang berbeda, namun ada hal yang harus diluruskan. Kehidupan itu terbatas, kesempatan juga terbatas, menyegerakan kebaikan itu tak pernah salah, terlebih lagi jika diniatkan karena Allah SWT yang Maha Memberi Anugerah. Tak ada alasan untuk menunda menikah, dan tak ada alasan pula untuk mempersulitnya. Segala hal bisa dibicarakan, pun pada akhirnya tujuan akhirnya juga sama bukan?
Apa daya yang bisa kalian lakukan, tidak ada yang abadi di dunia ini, waktu berlalu, hari berganti, ada batas waktu yang harus sama-sama disadari. Karena selalu ada kesan berharga di setiap kejadian yang datang di waktu yang tepat.
Cukup sudah, hati ini terbuka (logika turut mengiyakan) dan akhirnya perasaan dan logika berdamai. Mirip sekali seperti hangat matahari yang malu-malu untuk memeluk langit di waktu petang. Hinga akhirnya ikhlas melepaskan (keegoisan), dan akhirnya sinar surya perlahan mulai tenggelam. Jawaban ini hadir beriringan dengan saat-saat senja turun, kurasakan akan ketenangan dan kedamaian. Bukankah memang pria seharusnya membuat ketegasan akan pengambilan keputusan? Jadi, kalau kalian bagaimana? Waktu dan kesempatan tak pernah menunggu lho.
Ketika cahaya semakin terang, bayangan pun semakin gelap. Seperti menegaskan sebuah jarak.

No comments:

Post a Comment